Chapter 6.2: NPD
Karma’s POV
19 Agustus 2021
“Tolong panggilkan Maria dong, suruh ke kantor” Kataku kepada salah seorang siswi yang kulihat untuk memanggilkan salah satu siswiku dari asrama putri sebelum aku memasuki kantor dan kemudian duduk di kursi guru seperti biasanya.
Beberapa menit kemudian, gadis itu pun memasuki kantor dengan wajah yang sedikit mengantuk. Dia pun merebahkan dirinya dengan sedikit kasar di atas kursi yang berada di depanku.
“Ada apa pak?” Tanyanya dengan nada sedikit kesal. Mungkin kalian sedikit merasa tersinggung jika kalian melihat nada bicaranya seperti itu kepada gurunya. Bahkan kepala sekolah pun akan langsung menegurnya jika dia berada di sini, meskipun ucapan gadis ini tidak ditujukan kepada kepala sekolah.
Dan aku tidak merasa tersinggung juga dengan nada dari gadis ini.
“Abis bangun tidur?” Tanyaku mencoba basa-basi dengan gadis yang berada di depanku ini. Dia pun meletakkan dagunya di atas meja sambil menatapku dengan tatapan malasnya.
“Enggak sih, hanya cukup lelah saja karena aku habis melakukan pekerjaan” Jawabnya sambil menatapku masih dengan tatapan menyebalkan. Aku masih sedikit gugup juga sih untuk melakukan niatku ini dan juga aku sedikit tertarik untuk berbincang dengan gadis yang satu ini.
Maria bisa dibilang gadis yang terlihat mandiri, mungkin juga terlihat bodoh amat dengan semua hal dan juga terbuka untuk mendiskusikan semua hal yang mengganggu pikirannya. Cara penyampaian pendapatnya pun bagus, meskipun terkadang nadanya agak sedikit menyebalkan sehingga orang akan merasa sedikit terintimidasi dengan semua pendapatnya.
Selain itu dia juga cukup mandiri sehingga dia tidak begitu peduli apabila seseorang merasa marah dengan pendapatnya dan memutuskan untuk berkonflik dengannya.
Tetapi, aku sedikit risi dengan latar belakang dari sikap mandirinya tersebut yang kemungkinan besar didorong oleh kekesalannya kepada kedua orang tuanya. Baginya, jika dia sudah bisa mandiri mengapa harus mendengarkan semua ocehan yang terkadang tidak masuk akal?
“Bagaimana, sudah bisa memilih dunia nyata yang ingin kamu hadapi?” Tanyaku. Kemarin dia membicarakan sesuatu tentang pentingnya sekolah yang mulai menggelitik pikiranku kenapa dia membicarakan hal tersebut sehingga sekarang aku ingin tahu latar belakang dia menanyakan pertanyaan tersebut kepadaku.
“Masak baru satu malam langsung dapat wahyu dari Tuhan gitu. Memangnya saya orang pilihan apa” Katanya dengan sedikit nada sarkastis. Aku pun hanya tersenyum geli mendengar ucapan yang menyebalkan tersebut.
“Ya kan mungkin saja kamu tiba-tiba mimpi dan kemudian memutuskan, sepertinya ini adalah jalan ninjaku” Kataku mencoba untuk berkelakar. Tetapi tampaknya dia sedang tidak bersemangat untuk mendengar kelakarku sehingga dia hanya memutar bola matanya bosan dengan kelakarku.
“Aku jadi sedikit tertarik dengan alasan kenapa kamu menanyakan hal tersebut. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Tanyaku langsung ke intinya saja. Gadis itu pun mengangkat dagunya dari atas meja sambil menghembuskan nafas dengan kasar, seolah lelah dengan kehidupan.
“Orang tuaku memaksaku untuk kuliah” Katanya dengan nada sedikit datar. Aku pun memandangnya dengan tatapan datar sambil terdiam, masih mencerna kata-kata yang dia keluarkan sambil mencoba untuk memancingnya mengatakan sesuatu lebih banyak.
“Padahal aku sendiri sudah tidak minat lagi dengan sekolah dan pendidikan” Katanya dengan nada sedikit frustrasi. Aku masih terdiam, mencoba memahami apa sebenarnya masalah yang dihadapi oleh murid yang berada di depanku ini.
“Aku tidak ingin memilih dunia nyata yang muluk-muluk sih. Aku tidak ingin jadi arsitek yang perlu trigonometri, programmer yang perlu persamaan kuadrat. Aku juga tidak ingin jadi tukang sayur” Celotehnya menyebutkan dunia nyata yang kemarin aku sebutkan untuk memberikannya contoh.
“Lalu?” Akhirnya aku pun angkat bicara untuk menunjukkan padanya bahwa aku masih mendengarkannya.
“Aku cuma ingin mengajarkan pelajaran agama kepada generasi penerus secara sukarela saja. Membayangkan bahwa aku mengajarkan ilmu yang akan selalu mereka gunakan setiap hari, dan kemudian menikah. Hanya itu sih dunia nyata yang aku bayangkan” Katanya kembali berceloteh tentang impian dan dunia nyata yang akan dipilihnya. Aku pun hanya terdiam mendengar impian yang sangat sederhana tersebut.
“Sederhana sekali ya kehidupan ini” Kataku berkomentar tentang celotehannya tersebut. Dia tampak mengangguk pelan, seolah tidak peduli dengan komentarku dan membuatku mengurungkan niatku untuk memberinya gambaran tentang kehidupan dunia nyata yang mungkin saja bisa menjadi alternatifnya.
“Ya, jika itu adalah dunia nyata yang ingin kamu pilih, apakah kamu bisa memperhitungkan konsekuensinya juga?” Tanyaku. Gadis itu tampak memandangku dengan tatapan tidak mengerti.
“Setiap pilihan yang kamu buat pasti ada konsekuensinya. Aku mengerti pilihan yang kamu buat itu adalah pilihan yang simpel dan mulia, dan mungkin kebanyakan dari temanmu juga memilih untuk hidup di dunia nyata yang seperti itu” Jelasku.
“Hanya saja, terkadang aku merasa sebal karena mereka memilih hal tersebut karena mereka ingin melarikan diri dari sulitnya kehidupan. Dunia nyata tidak sesederhana itu. Ada orang yang memang menyerah untuk menjadi arsitek karena tidak mau berurusan dengan trigonometri dan melarikan diri menuju ke pembelajaran agama hanya karena merasa bahwa pembelajaran agama itu lebih mudah daripada trigonometri” Lanjutku panjang lebar.
“Padahal, pembelajaran agama memiliki kesulitannya tersendiri dan bahkan mungkin juga lebih sulit daripada trigonometri itu sendiri. Lalu karena mereka hanya ingin melarikan diri, mereka menjadi marah dan tidak bisa memberikan kontribusi yang cukup untuk pembelajaran agama mereka” Kataku mengakhiri penjelasanku. Gadis itu tampak merenung dan terdiam mendengar ucapanku. Mungkin saja aku berkata terlalu banyak sehingga dia tidak bisa menerimanya. Apalagi dia masih dalam keadaan capek. Ya… Mau bagaimana lagi.
“Ya udah deh, sepertinya kamu masih capek. Niatku sih mau memberikan sesuatu karena ini adalah hari ulang tahunmu” Kataku sambil mengambil sebatang coklat dari dalam tasku dan kemudian menyerahkannya kepada gadis tersebut. Gadis itu tampak sedikit terkejut dengan pemberianku sebelum akhirnya tersenyum kecil sambil menimang-nimang coklat yang baru saja aku berikan.
“Apa nih motivasinya tiba-tiba memberiku coklat?” Tanyanya sambil tersenyum kecil seolah geli dengan tingkahku barusan.
“Ya… selain karena sekarang adalah ulang tahunmu, aku juga sedikit terhibur dengan bahan obrolan yang cukup berat dan menarik kemarin” Jawabku simpel saja.
“Aku sebenarnya penasaran, pak. Apa di antara para cowok itu tidak ada seorang pun yang bisa diajak berbincang-bincang dengan topik bebas sepertiku tadi?” Tanya Maria.
“Entah, mungkin ada juga sih. Si Lucky itu bisa menerima nasehat cukup jeli, selain itu Rei juga seru jika diajak berdebat meskipun pemikirannya masih aneh” Jawabku. Maria pun hanya mengangguk pelan mendengar jawaban dariku.
“Jika pembicaraan dengan mereka menarik, kenapa bapak tidak pernah memberikan mereka coklat juga?” Pertanyaannya benar-benar membuatku sedikit kaget. Aku memang sudah cukup banyak menerima pertanyaan kenapa aku hanya memberikan sesuatu kepada murid perempuanku saja, tetapi aku bisa berkelit bahwa perempuan itu lebih menurut dan bisa diajak mengobrol saja.
Tapi untuk kali ini, aku sudah mengatakan kepada Maria bahwa beberapa dari cowok ini bisa diajak mengobrol dan motivasiku memang karena aku merasa tertarik dengan obrolannya. Tetapi entah mengapa aku tidak pernah memberikan mereka hadiah atau apa pun.
“Hm… Pertanyaan yang menarik” Kataku mencoba untuk mengulur waktu sementara otakku terus berpikir tentang jawaban yang masuk akal untuk membela diriku.
“Apa bapak sebenarnya sedang tebar pesona dengan semuanya?” Katanya sambil tetap melihat ke arah coklat yang sedang dibawanya.
Wow… Itu pertanyaan yang benar-benar menusuk, tetapi menggelitik otakku juga untuk memikirkannya. Apa memang aku sedang tebar pesona dengan pemberianku sendiri?
“Tidak sih, hanya saja…” Ucapanku terputus karena aku masih belum sempat memikirkan jawaban yang masuk akal dari pertanyaan tersebut.
“Hanya saja…” Kata Maria sambil menatapku dan menuntutku untuk memberikan jawaban tentang kebiasaanku untuk memberikan sesuatu kepada murid perempuanku.
“Gimana ya aku menjelaskannya…” Aku pun mencoba untuk mencari sesuatu dalam sudut otakku untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut.
“Jangan-jangan, bapak memang mengidap NPD lagi”
Apa…?