Chapter 4.2: Hari yang Sibuk

Lucky’s POV

19 Juli 2021

“Lanjut, lanjut, lanjut… Biar cepat selesai ayo lanjut” Pekik seorang guru di sampingku sebelum akhirnya dia meraih mikrofon yang ada di depannya dan kemudian memanggil salah seorang siswa untuk memasuki ruangan. Beberapa detik kemudian, seorang gadis cantik dengan kerudung merah memasuki ruangan beserta dengan cowok tinggi besar dengan jaket kulit hitam membawa setumpuk berkas.

“Mari pak, silakan duduk di sini” Kata guru tambun di depanku sambil tersenyum penuh dengan semangat, meskipun aku tahu dia sama lelahnya dengan guru yang berada di samping kiriku ini. Aku pun berdiri dari tempat dudukku dan kemudian berjalan menuju ke arah bapak-bapak tersebut dan mengambil berkas yang dia bawa.

Namaku adalah Lucky, aku adalah murid kelas 9 dari sebuah sekolah yang menerapkan sebuah sistem boarding school. Mungkin kalian sudah pernah mendengarnya, entah dari berita, artikel, atau mungkin brosur yang sudah dibagikan oleh sekolahku tentang sistem sekolah boarding school ini. Aku juga merasa bahwa teman-temanku sudah banyak bercerita kepada kalian tentang sistem ini sehingga aku merasa tidak terlalu penting untuk menjelaskan hal ini kepada kalian.

Sekarang aku kelas 9, dan aku bukan seorang pengurus kelas karena aku sendiri merupakan anak pindahan. Berbeda denganku. seluruh temanku sendiri juga merupakan murid paling senior di sekolah ini dan mereka juga yang mengerti bagaimana lika-liku kehidupan yang ada di pondok ini. Tapi yang menjadi misteri sekarang adalah kenapa aku bisa ditugaskan untuk menjaga kantor penerimaan yang paling sibuk karena mengurusi masalah keuangan ini?

“Masih 40 anak, masih kurang lebih dari separuh” Jelas karena orang yang berada di sebelahku ini. Namanya adalah Karma, dia adalah salah seorang guru di sekolahku. Meskipun dia tidak pernah mengajar apa pun di dalam kelasku, tetapi aku merasa cukup dekat dengannya. Menurutku dia cukup ramah, meskipun aku merasa bahwa keramahannya itu terasa seperti topeng yang menutupi sesuatu yang berada di baliknya. Apakah itu?

Jujur saja aku tidak tahu dan mungkin juga tidak mau tahu dengan apa yang sedang dia tutup-tutupi. Itu adalah urusannya dengan dirinya sendiri. Tetapi dia bisa dibilang guru yang baik, pintar dan cukup peduli dengan muridnya dan juga…

Sangat berantakan.

Aku bukan orang yang suka mengurusi masalah penampilan orang lain, sehingga aku tidak terlalu peduli juga dengan penampilan guru yang satu ini. Tetapi jika aku harus menceritakannya, aku akan mengatakan bahwa guru yang satu ini terlalu tidak peduli dengan penampilannya.

Saat ini dia sedang memakai baju batik lengan panjang yang kusut karena belum disetrika, dan ukuran lengan yang terlalu panjang sehingga kekusutannya benar-benar terlihat jelas. Selain itu rambutnya memang masih pendek, tetapi bagian tepinya terlalu panjang sehingga menutupi telinganya. Dia juga tidak pernah menyisir rambutnya sama sekali sehingga terlihat terlalu berantakan.

Meskipun penampilannya berantakan seperti itu, aku masih merasa kagum dengan semangat kerjanya yang terkadang membuatku ngeri juga. Seperti yang kulihat sekarang, dia sedang berusaha melihat tagihan administrasi dari murid yang baru saja datang, memanggilnya jika dua kasir di depan sedang kosong, dan mencetak bukti pembayaran ketika kasir di depan sudah memasukkan uang mereka. Sebuah usaha yang memerlukan kecermatan, ketelitian dan juga kecepatan yang aku yakin jarang orang normal yang bisa menyamainya.

Sementara aku? Aku hanya bisa bengong di sampingnya sambil menunggu ada murid yang datang untuk menyerahkan berkasnya dan kemudian aku menyerahkannya kepada kakak kelas yang berada di belakangku untuk direkap. Seluruh berkas dari murid yang mengantre di depan tampaknya sudah aku ambil semuanya, dan aku melihat ada sekitar dua belas kertas yang menunggu untuk diproses oleh Pak Karma sehingga aku sedikit merasa tidak enak jika aku mengajak pak Karma mengobrol disela-sela kesibukannya.

Tapi aku juga malas sekali jika terlihat bengong seperti ini.

Aku harus melakukan sesuatu.

“Pak, aku mau lihat antrean di luar sebentar” Kataku sambil berdiri dan tanpa mendengarkan apa jawabannya langsung berjalan keluar menuju ke arah pintu masuk. Aku pun mengedarkan pandanganku ke arah antrean siswa yang sedang duduk di lorong depan kelas seolah sedang mencari seseorang. Padahal aku hanya bosan berada di dalam tanpa melakukan apa-apa.

“Mas…” Sebuah suara feminin menarik perhatianku sehingga aku pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. Seorang ibu tampak sedang berdiri di samping pintu dengan wajah kesal sambil membawa berkas miliknya.

“Saya sudah menunggu di sini selama lebih dari satu jam, kenapa nama anak saya tidak dipanggil?” Katanya dengan nada sengit seolah aku adalah anak nakal yang sudah mencuri sandalnya. Aku pun hanya bisa terdiam di depan ibu-ibu tersebut, masih bingung harus menjawab seperti apa.

Jujur saja, meskipun aku sudah kelas 9, aku masih belum mengenal sebagian besar dari murid yang ada di kelas ini. Apalagi adik kelas yang baru saja aku kenal kemarin sehingga aku tidak tahu ini orang tuanya siapa, dan aku juga merasa bahwa kami semua sudah berusaha memberikan pelayanan yang paling cepat secepat yang kami bisa agar mereka semua juga tidak mengantre terlalu lama.

Kalo tidak percaya, tengok saja Pak Karma yang sudah benar-benar mengeluarkan seribu jari miliknya untuk memroses semua tagihan siswa yang sudah masuk ke dalam sana. Dia belum istirahat dari pagi hari tadi sampai sekarang, dan kemudian ibu-ibu ini mengeluh hanya karena menunggu selama satu jam? Lelucon macam apa ini.

“Malah bengong lagi, ini cepat dicari berkasnya atas nama Alfian Nugroho” Katanya dengan nada yang sedikit membentak. Aku pun sedikit kaget dengan bentakannya dan kemudian segera bergegas masuk untuk melihat kembali kertas yang masih diproses oleh Pak Karma.

Guru yang satu ini tampaknya masih memiliki seribu jari untuk bisa mencari nama siswa di antara ratusan siswa yang sedang bersekolah di sini. Tetapi kali ini aku akan mengganggunya sebentar agar tidak dibentak lagi sama ibu-ibu tersebut. Aku pun melihat kembali kertas yang akan dipanggil oleh Pak Karma untuk menemukan nama si Alfian sialan ini.

Ah… Itu dia, sepertinya masih terlalu jauh.

Aku pun menggeser kertas tersebut menuju ke antrean paling depan agar si ibu-ibu tadi tidak mengomel lagi.

Plak…

“Eh… Apaan sih? Kenapa main geser-geser aja” Kata Pak karma sambil menepuk pelan tanganku yang mencoba menyusup melalui bawah lengannya yang masih sibuk.

“Ini, ini dulu saja biar ibunya berhenti mengomel” Kataku dengan nada yang sedikit sebal. Kenapa aku kembali diomeli?

“Kan memang dia setor berkasnya belakangan, harusnya kan setor berkas terlebih dahulu baru kemudian menunggu, bukan langsung menunggu dipanggil. Memangnya dia pikir kita punya mata nya Gaara sehingga bisa lihat tanpa berkas” Gerutu Pak Karma sambil mengembalikan kertas tersebut kembali menuju posisinya semula.

“Ya… Tapi kan aku sebel saja kalo diomeli” Gerutuku ketika melihat usahaku tidak membuahkan hasil.

“Ya sudah, duduk sini saja yang tenang daripada nanti semuanya didemo” Kata Pak Karma sambil kembali fokus dengan apa yang sebelumnya sudah dia kerjakan. Aku pun kembali duduk tenang, tidak melakukan apa-apa seperti sedia kala, sambil menunggu ada orang yang menyerahkan berkas.

Di sisi lain tampak Rei, salah seorang temanku, yang sedang sibuk memperhatikan salah seorang murid yang sedang ingin menitipkan uangnya. Dia memang yang bertugas untuk mengantarkan rekap dari uang saku yang akan diserahkan oleh orang tua murid untuk anaknya, dan dia sepertinya juga sedang bosan karena tidak ada yang akan dikerjakan.

“Lucky, itu ada berkas di depan pintu” Ucapan Pak Karma menyadarkanku kembali dari angan-anganku sehingga aku pun bergegas untuk mengambil berkas tersebut. Aku pun menengok namanya, sesuai dengan prosedur yang sudah biasa aku lakukan agar Pak Karma tidak lagi membaca nama satu per satu berkas siapa yang akan diproses.

“Intan” Kataku pada Pak Karma. Guru itu pun terdiam sebentar sebelum akhirnya jarinya kembali bergerak dengan lincah di atas papan ketik yang berada di depannya untuk melihat tagihan dari murid yang baru saja datang. Beberapa detik kemudian dia menuliskan nama dari murid tersebut dan kemudian membariskannya bersama dengan antrean lainnya.

Sekarang tangan yang tadinya lincah bergerak itu terlihat terdiam. Mata sipit dibalik kacamata yang tebal itu tampak membaca nama siswa yang berada di antrean itu beberapa kali sebelum akhirnya menatap ke arah jam dinding yang berada di sebelah kanan pintu masuk. Guru itu pun menghela nafas sebentar.

“Lucky, kamu coba mengurus masalah bukti pembayaran. Aku akan menjadi kasir di depan sehingga pelayanan akan semakin cepat” Sahutnya sambil berdiri.

“Rei… Tolong ambilkan kursi di belakang dan kemudian bawa ke depan. Lucky, aku akan mengajarkan sedikit cara untuk mencetak bukti pembayaran” Kata Pak Karma sambil menunjukkan layar laptopnya.

La… Kenapa tidak dari tadi saja kita membuka tiga kasir.