Chapter 4.1: Menunggu
Mentari’s POV
19 Juli 2021
“Intan lama banget sih, kenapa harus datang sore juga” Kataku bersungut-sungut sambil menggoyang-goyangkan kakiku yang tidak sampai di bawah kursi yang berjejer di depan kelas.
Lagian, kenapa juga sih kita harus buru-buru untuk kembali ke sekolah. Liburanku masih belum puas, apalagi kalo di sekolah tidak boleh membawa dan bermain ponsel lagi. Selain itu yang lebih menjengkelkan lagi adalah… teman karibku harus berangkat lebih sore daripada aku sehingga sekarang aku harus menunggunya di depan kelas.
Sendirian, hanya ditemani oleh beberapa orang adik kelas yang masih terlihat malu-malu dan diam-diam begitu saja. Bosan? Tentu saja aku bosan banget, aku akan minta traktir Intan ketika dia datang nanti. Pasti dia sudah mengantongi uang cukup banyak saat liburan lebaran kemarin.
“Selain itu, ini juga bayaran yang harus dia bayar karena telah membiarkanku menunggu” Keluhku sambil melompat kecil dari kursi tempat aku menunggu di depan kelas tadi.
Bosan, bosan, bosan… Kenapa aku harus datang paling pagi sih… Menyebalkan…
Namaku Mentari, aku adalah salah satu siswi boarding school. Namanya saja terdengar keren, tetapi isinya sangat membosankan. Meskipun sebenarnya aku punya peluang untuk tidak mati kebosanan di sini sih. Beberapa saudaraku ada yang memiliki rumah dekat dengan boarding school ini sehingga aku bisa pulang kapan pun aku membutuhkan apa pun. Bahkan secara administratif, aku tidak pernah makan di kantin sekolah karena aku lebih suka dan lebih cocok dengan masakan dari saudaraku tersebut.
Selain karena di asrama aku tidak punya pilihan lain, aku juga sangat benci untuk menunggu antrean makan.
Sial… Kenapa aku harus membahas menunggu kembali. Aku kembali sebal dengan Intan yang sudah memaksaku untuk menunggu di sini.
Pokoknya saat dia datang nanti aku akan memintanya untuk…
Sesosok pria pendek tampak keluar dari salah satu ruangan tempat aku tadi menunggu cukup lama. Aku pun berhenti sejenak untuk memperhatikan sosok tersebut dengan tatapan wajah yang cukup heran. Itu kan si profesor.
Baiklah, mungkin aku terdengar tidak sopan untuk memanggil pria tersebut dengan panggilan si profesor, tetapi kami semua benar-benar tidak mengenal guru yang satu ini karena dia tidak mengajar di kelas kami. Meskipun dia adalah guru yang selalu terlihat sibuk dan mondar-mandir ke sana kemari entah sedang melakukan apa.
Bahkan sekarang pun dia terlihat sibuk sekali.
Tetapi yang paling aku perhatikan dari guru yang satu ini adalah penampilannya yang begitu tidak jelas. Kalian mungkin bisa membedakan mana penampilan orang yang sudah tua dan berumur dan mana penampilan anak modern zaman sekarang, tetapi kalian pasti tidak akan bisa menebak penampilan apa yang sedang ditampilkan oleh si profesor. Cowok memang biasanya tidak pernah peduli dengan penampilan mereka, tetapi pemikiran kalian tentang itu pasti akan berubah ketika melihat tampilan dari profesor ini.
Meskipun kali ini dia sedang menampilkan sesuatu yang pantas sih, dengan raut wajah seperti orang yang sedang kalah judi. Dia pun berjalan dengan langkah cepat dan pasti menuju ke arahku sambil terus melihat ke depan. Sepertinya dia sedang buru-buru sehingga aku mengurungkan niatku untuk menyapanya terlebih dahulu. Selain itu aku juga masih belum begitu hafal dengan namanya, kalo tidak salah namanya adalah Kar…
“Sendirian aja nih, Mentari?”
Ha… Tumben sekali dia menyapa muridnya. Dan dari mana coba dia tahu namaku?
“Um… I… iya, Prof… Pak”
Kenapa kata aneh itu harus keluar duluan sih, mana pake acara gugup juga lagi.
Mata gelap itu tampak memandangku dengan tatapan heran sekaligus malas sementara bibirnya tampak sedikit menyunggingkan senyuman yang penuh arti, meskipun aku sendiri tidak bisa menebak apa arti dari senyuman anehnya. Sepertinya perasaannya sedang senang sehingga dia menyempatkan diri untuk berhenti dan juga menyapaku. Biasanya juga dia berjalan dengan cuek sambil terus berjalan ke depan.
“Mana teman sebangkumu kemarin, hmmm… Alice ya namanya?” Tanyanya. Aku pun langsung tertegun mendengar ucapan dari guru yang berada di depanku tersebut. Dia juga kenal dengan Alice juga? Apakah guru yang satu ini diam-diam memata-matai kami? Bukankah dia tidak pernah masuk ke kelas kami, tapi kenapa dia bisa kenal dengan nama kami?
Selain itu, kenapa dia tetap bersikap cuek jika kenal dengan kami. Sekali-kali menyapa juga tidak berdosa kan? Dasar…
“Dia belum datang sih, mungkin nanti siang” Jawabku.
“Lo… Kalian berdua tidak janjian gitu untuk berangkat bersama-sama? Dan juga kenapa kamu datangnya terlalu pagi seperti ini sih? Kan yang menerima juga bingung” Keluhnya. La… kan terserah aku mau datang kapan pun yang aku mau, yang penting sekolahnya sudah buka. Untung aku datang waktu pagi, kalo aku datang tengah malam apa tidak makin repot.
“Enggak sih” Jawabku singkat saja. Kenapa aku harus menjawab yang lebih panjang coba? Dan apa juga urusan guru yang satu ini dengan Alice. Beberapa saat kemudian, sebuah ingatan terbersit dalam benakku ketika aku mendengar nama Alice disebut oleh guru yang satu ini.
“Memangnya kenapa bapak mencari Alice?” Sahutku.
Sial… Kenapa aku tidak bisa menjaga mulutku sih. Memang itu adalah hal yang sedang aku pikirkan, tetapi bukan berarti aku harus mengungkapkannya sekarang kan? Aku mulai mengutuk diriku sendiri yang gampang sekali keceplosan dengan apa yang sedang aku pikirkan. Sebuah senyuman geli tampak tersungging dari wajah berantakan guru tersebut.
“Aku cuma mau bertanya apakah coklatnya enak atau tidak” Timpalnya sambil tergelak pelan.
Tunggu sebentar… Coklat apa yang dia maksud?
“Coklat yang mana pak?” Tanyaku dengan nada sedikit penasaran. Apa hubungannya coklat dengan Alice? Apakah guru yang satu ini diam-diam naksir sama Alice dan memberikannya hadiah berupa coklat? Tetapi kapan coba? Apa waktu liburan dia ke rumahnya Alice dan kemudian memberikannya kado berupa coklat?
Seingatku, guru yang satu ini bahkan mungkin saja tidak tahu siapa itu Alice dan mereka juga tidak pernah bertemu bahkan ketika di sekolah sekalipu…
Aku ingat, dia waktu itu yang membagikan rapor kelas kami secara mendadak karena Bu Feni tidak hadir untuk membagikan rapor kala itu. Dan semenjak itu Alice tampaknya menjadi sedikit menjauh dariku. Apa gara-gara coklat dari dia? Tunggu dulu, dia tidak pernah berkata bahwa dia memberikan coklat kepada Alice, apakah coklat itu dari orang lain?
“Tunggu sebentar, bapak tahu tentang Rei?” Kataku sambil menodong ke arah guru tersebut. Memang terdengar tidak sopan, tetapi entah mengapa aku benar-benar sangat penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh guru yang satu ini sehingga secara tidak sadar meninggikan nada suaraku. Tetapi aku cukup tahu diri sehingga aku mundur sejenak sambil menutup bibirku, takut jika ada nada tinggi yang keluar lagi. Guru tersebut hanya memandangku dengan tatapan sedikit heran.
“Bukankah dia sudah bercerita ke hampir semua temannya soal Rei? Apa yang rahasia dari situ?” Katanya dengan nada sedikit heran.
Ya… aku tahu Alice sudah menceritakan tentang Rei hampir kepada seluruh teman sekelas kami, tetapi kan harusnya bapak yang tidak pernah mengajar di kelas kami tidak perlu tahu tentang hal tersebut. Tentu saja aku tidak akan mengucapkan kalimat bodoh tersebut di depan guruku.
“Iya sih, tapi bapak tahu dari siapa?” Tanyaku masih dengan nada penasaran.
“Dari vitamin yang dia berikan saat ujian semester. Tolong lah, aku waktu itu jadi ketua panitia ujian semester sehingga aku harus mengecek setiap ruangan agar bisa digunakan dengan baik. Kenapa kalian suka menyembunyikan sesuatu di kolong meja sih, memangnya kalian pikir tidak akan ada yang menengok ke dalam sana” Tanyanya dengan wajah datar.
Berarti dia juga tahu soal vitamin yang diberikan Alice kepada Rei? Aduh… gawat sekali. Itu kan rahasia tergelap Alice yang katanya hanya diceritakan kepadaku saja, kenapa guru yang satu ini bisa tahu. Aku pun sedikit terkesiap memikirkan pemikiranku sendiri. Bagaimana guru ini bisa tahu kalau itu dari Alice? Dan jika dia sudah memberikan coklat kepada Alice, artinya Alice juga tahu bahwa ada seseorang yang tahu.
Dan pastinya… dia akan merasa bahwa aku telah membocorkan rahasia tergelapnya itu kepada seseorang. Parahnya lagi, seseorang itu adalah guru dan bukan teman.
“Jadi, bapak memberikan Alice balasan coklat…” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku ketika melihat seseorang dengan baju merah marun sedang berjalan cepat melewati lorong sekolah. Langkah kaki sepatunya berderap cepat di lantai keramik yang cukup licin di depan ruang kelas. Bunyi sepatunya yang cukup keras tampaknya membuat guru tersebut mengalihkan perhatiannya ke arah belakangnya di mana dia melihat salah seorang muridnya yang sedang berjalan dengan wajah terburu-buru ke arahnya.
Panjang umur banget, baru aja diomongkan langsung datang.
“Ada apa, Rei?” Sahut guru di depanku sebelum cowok itu mendekat ke arah kami berdua. Dia pun berhenti beberapa meter di depan guru tersebut dengan wajah panik.
“Kayaknya setelah ini akan ada yang datang lagi, jadi sama kepala sekolah disuruh untuk persiapan administrasi” Katanya. Guru tersebut mengangguk pelan sambil mengisyaratkan kepada Rei untuk segera pergi dari kami berdua. Cowok itu pun berbalik dan kemudian berjalan menuju ke arah kantor tempat dia keluar tadi.
Beberapa saat kemudian guru itu pun kembali berbalik kepadaku untuk melanjutkan percakapan kami. Aku pun bersiap untuk melanjutkan ucapanku saat aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam ekspresi guru yang berada di depanku tersebut.
Kenapa dia terlihat seperti terkejut dan heran? Apakah dia bisa menebak apa yang akan aku tanyakan setelah ini…
PUK…
Hei… Apa-apaan ini? Kenapa semuanya menjadi gelap?
Kurasakan dua buah tangan kecil menutupi kedua mataku dan kemudian mendekapnya dengan sedikit erat. Aku pun sedikit meronta-ronta, ingin melepaskan diri dari jerat orang asing yang sedang menutup mataku tersebut. Siapa sih yang tiba-tiba menutup mata orang lain di tengah pembicaraan yang cukup penting?
Dengan sekuat tenaga, aku pun menarik tangan tersebut dari mataku sehingga aku bisa melihat siapa yang menjahiliku saat ini.
“Selamat ulang tahun, Mentari” Aku langsung mengenali suara bersemangat yang sekarang sedang tersenyum ke arahku. Cewek itu tampak tersenyum senang sambil mencubit pipiku pelan. Meskipun begitu aku masih merasa kesakitan sehingga aku pun memekik pelan.
“Hentikan… Dasar” Seru seseorang di belakang cewek tersebut sambil mencoba untuk menengahi perselisihan kami berdua. Gadis itu pun melepaskan cubitannya di pipiku dan kemudian mengembangkan sebuah senyuman lebar, senyuman yang sangat jarang kulihat.
Dia adalah Intan.
Ya, ya, ya, mungkin kalian juga terkejut kenapa tiba-tiba Intan yang katanya akan berangkat nanti sore ini sudah sampai di sekolah di pagi hari seperti ini. Aku pun sama terkejutnya dengan kalian, bahkan mungkin lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa dia sudah repot-repot untuk membelikan kue tar kecil untuk merayakan ulang tahunku.
Wajah gadis itu tampak berseri-seri, sebuah wajah yang jarang sekali ditampakkan oleh Intan. Aku melihatnya sebagai pribadi yang serius dan selalu menampakkan wajah bodo amat dan tidak peduli dengan temannya. Tapi kali ini membuktikan bahwa dugaanku bahwa dia tidak peduli itu salah.
Eh, seketika itu juga aku teringat dengan orang yang seharusnya tidak melihat hal ini. Aku pun mengalihkan pandanganku kepada guruku yang tampaknya sedang berdiri tertegun melihat kami bertiga. Aku pun hanya bisa tersipu malu melihatnya berdiri mematung sambil memandangi tingkah kami yang mungkin saja tergolong aneh.
“Oke, aku akan kembali saja. Nikmati hari kalian”