Chapter 2.2: Piala yang Kosong
Dita’s POV
01 Juli 2021
“Dan… untuk juara kelas pada tahun ini adalah seperti yang sudah kalian tahu… ada Ananda Dita Aulia” Kata seorang pria berkacamata di depan dengan nada yang hanya datar dan tidak begitu bersemangat. Wajahku sedikit kaku karena menahan senyuman telah meraih juara kelas.
Aku masih malu untuk menampakkan senyuman bangga karena sudah meraih juara kelas. Meskipun aku masih bingung dengan alasannya, tetapi mungkin aku bisa memperkirakan kenapa aku masih malu dengan ini semua.
“Selamat ya, Dita”
“Kerja yang bagus, Dita”
“Hore… Dita yang peringkat satu lagi”
Sahutan dari beberapa teman-temanku terdengar satu per satu memberikanku selamat yang membuat telingaku gatal. Aku merasa risi sekali dengan berbagai macam pujian tersebut dan rasanya ingin sekali untuk menutup mukaku dengan kantong plastik karena saking malunya.
Kenapa? Kenapa aku harus merasa seperti ini? Padahal orang biasanya akan merasa bangga dengan sebuah pencapaian.
“Jangan lupa, untuk ke depannya kita akan menghadapi tantangan yang lebih banyak dan lebih sulit lagi” Lanjut guruku melanjutkan pidato dan juga pesan dan kesan yang tadi sempat terputus karena pengumuman yang menurutku tidak penting.
Mungkin, inilah alasan kenapa aku merasa malu dan risi dengan segala pencapaian ini.
Aku hanya merasa bahwa ini hanyalah piala yang kosong.
Kudengarkan semua penjelasan yang, entah mengapa aku tidak bisa menangkap apa maksud dari guru yang berada di depanku saat ini. Otakku serasa kosong, mungkin karena perasaanku masih berontak dengan keadaan yang menimpaku saat ini.
Buat apa aku berjuang? Belajar cukup keras untuk memahami materi yang diajarkan oleh guruku, membaca dan mengingat banyak materi, dan berusaha mengerjakan tugas yang tanpa henti diguyurkan di atas kepalaku. Apa gunanya semua itu, jika yang kudapatkan hanya sebuah juara yang kosong?
Entah, aku juga masih belum tahu apa yang kuharapkan.
Suara-suara dari guruku yang masuk di kepalaku sepertinya hanya berjalan saja tanpa melewati otakku. Kepalaku cukup pusing sehingga rasa kantuk pun menyerang mataku. Aku tidak tahu apakah aku mengantuk karena suasana hatiku sepertinya sedang tidak baik atau mungkin karena aku begadang tadi malam, tapi masa bodoh, ngantuk ya ngantuk.
Buat apa mendengarkan orang mengoceh di depan kalo semuanya hilang karena ngantuk.
“Ya… karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 dan pengisi acara selanjutnya sudah siap, maka mungkin untuk struktur organisasi kelas yang baru akan dibentuk oleh wali kelas yang baru juga” Akhirnya guru yang satu ini berhenti mengoceh juga. Aku pun mengangkat kepalaku dan kemudian segera membereskan perlengkapan sekolahku, bersiap untuk acara selanjutnya.
“Pulang yuk, Dit” Sebuah tangan terasa menyentuh bahuku lembut sambil berkata sesuatu padaku. Aku pun menoleh dan melihat temanku, Desi, sudah bersiap dengan tas di pundaknya untuk segera pulang. Aku pun mengangguk dan kemudian mengangkat tas sekolahku di pundakku sebelum akhirnya berjalan keluar dari kelas bersama dengan Desi.
Kesunyian mengiringi perjalanan pulangku dengan Desi. Desi adalah temanku, salah satu temanku yang cukup akrab denganku. Dia adalah gadis yang pendiam, meskipun dia sebenarnya cukup berisik dan heboh ketika bertemu dengan orang yang tepat. Sama juga sepertiku, aku juga akan heboh ketika bertemu dengan orang yang tepat.
Dan sayangnya orang yang tepat itu sepertinya sedang tidak berada di sekolah ini.
Bisa dibilang kami adalah tiga serangkai. Mungkin teman-teman kami merasa bahwa kami bertiga adalah murid yang cukup berisik dan tidak bisa diam. Tetapi tampaknya hanya ada satu orang yang menyatukan kami sehingga kami bisa kompak.
Dan tanpa kehadiran dirinya, tampaknya semuanya terasa sunyi.
Kesunyian memenuhi perjalanan pulang kami berdua. Sial… Kenapa harus sesunyi ini sih? Aku merasa begitu aneh merasakan kesunyian yang sangat mencekam seperti ini. Ingin rasanya aku berteriak keras dengan kesunyian ini agar bisa memecahkannya.
Tetapi sepertinya aku terlalu takut. Takut untuk berbicara. Entah mengapa aku merasa takut untuk tidak diterima, takut untuk dimarahi. Aku tidak dapat menjelaskan di mana tepatnya rasa takut tersebut. Hanya saja aku bisa merasakan bahwa rasa takut itu benar ada…
Tapi tidak saat aku sedang bersamanya…
“Diam saja, Dit” Sebuah suara merasuk begitu saja melewati telingaku, membuyarkan semua lamunanku tentang rasa takutku. Aku pun hanya membalas dengan seulas senyuman kecil kepada Desi.
Tanpa kata, tanpa suara. Hanya seulas senyuman kecil yang menurutku tanpa arti, tetapi tampaknya senyuman kecil itu berarti cukup banyak baginya.
“Dia pasti bakalan kembali kok” Katanya.
Aku paham, aku mengerti, aku tahu bahwa itu adalah suatu kata-kata yang aku butuh kan. Tetapi entah kenapa wajah ini terasa memerah dan memanas mendengar hal tersebut. Aku masih malu mengakui bahwa sepertinya aku membutuhkannya.
“Apaan sih” Kataku sambil sedikit meninju lengannya pelan. Aku mencoba untuk memecahkan suasana dengan gurauan kecil, tapi suasana canggung masih melingkupi kami berdua sampai kami berada di asrama putri. Kami berdua pun berpisah di koridor asrama karena kami berdua bertempat di kamar yang berbeda.
“Huh” Desahku pelan ketika merasakan kepenatan melanda tubuhku sesaat ketika aku masuk ke dalam kamar. Aku pun berjalan menuju ke arah lokerku untuk menaruh tas kecil yang biasa kubawa untuk ke sekolah.
“Eh” Gumamku spontan ketika melihat sebuah benda yang tidak biasa sedang berada di atas lokerku. Itu adalah sebuah kotak berwarna biru dengan sebuah pita kecil di atasnya.
Ah…! Sial banget sih, kenapa orang tidak mau menjaga barang mereka sendiri sih. Siapa coba yang menaruh kotak seperti ini di atas lokerku? Aku pun mengambil kotak tersebut kemudian mencoba melihat sekeliling, mencari orang mencurigakan yang kira-kira merupakan pemilik kotak aneh ini.
Tidak ada orang.
Aku pun kembali mengalihkan pandanganku kepada kotak hadiah tersebut sambil mencari suatu petunjuk yang bisa aku gunakan untuk mengembalikan kotak ini kepada yang punya. Sebuah kertas tergantung di pita yang mengikat kotak tersebut dengan tulisan yang sedikit berkaligrafi.
For The Number One
Dahiku mengernyit membaca tulisan tersebut. Siapa yang nomor satu?
Ha… Pipiku memanas begitu menyadari sesuatu yang baru saja aku alami beberapa jam yang lalu. Bukankah aku yang nomor satu di kelas? Tapi siapa yang menaruh kotak seperti ini di atas lokerku?
Aku pun membuka kotak tersebut karena merasa bahwa tidak ada yang memilikinya. Sebuah buku catatan kecil dan juga sebatang coklat berada di dalam kotak tersebut ketika aku membukanya. Aku pun mengambil buku catatan kecil tersebut dan membukanya.
Untuk muridku
Terima kasih atas usaha kerasmu tahun ini
Mungkin kamu memang tidak berniat untuk membuatku bangga dengan pencapaianmu
Tapi aku tetap ingin berterima kasih karena usaha kerasmu telah membuatku bangga
Salam, Mr. Why
Dahiku kembali berkernyit membaca tulisan tersebut. Aku belum pernah mendengar orang bernama Why? Siapa memang yang menggunakan kata tanya sebagai namanya.
Aku pun kembali berkernyit heran, mencoba memikirkan siapa sih yang memberikanku catatan dan coklat ini. Aku pun membaca catatan tersebut sekali lagi.
Muridku? Bukankah itu artinya yang membuat catatan ini adalah guru? Dan aku tidak kenal dengan Pak Why, siapa memangnya Pak Why ini?
Dan memang kenapa harus memakai bahasa Inggris?
Tunggu dulu, jika memakai bahasa Inggris maka bunyi dari Why ini adalah…
Aku pun tersenyum geli ketika menyadari hal tersebut. Ya… Ada-ada saja ya caranya seseorang untuk mendapatkan nama samaran yang kedengarannya keren. Tapi, ayolah Pak… Apakah bapak tidak bisa membuat nama samaran yang tidak terlalu membingungkan.
Senyuman kecil itu pun sepertinya tidak bisa lepas dari bibirku, bahkan ketika aku menyimpan catatan kecil beserta coklat dan kotak tersebut ke dalam lokerku.
Pikiran manusia memang aneh. Beberapa menit yang lalu aku mungkin sempat merasa tidak enak, bahkan ketika mengetahu fakta bahwa aku berhasil mendapatkan peringkat satu. Bagiku prestasi tidak ada harganya ketika yang kita dapatkan hanyalah piala yang kosong. Ucapan basa-basi selamat tampaknya hanyalah sebuah alibi dan terasa sangat hampa di hatiku. Aku merasa bahwa ucapan itu tidak mengubah keadaan.
Bukan berarti aku seseorang yang ingin mendapatkan hadiah atas kerja kerasku, tetapi aku ingin semua hal yang sudah aku kerjakan selama ini memberikan dampak pada seseorang. Selama ini aku merasa bahwa kerja kerasku tidak begitu berdampak pada seseorang.
Tetapi ternyata aku salah.