Chapter 1.2: Alice dan Coklat dalam Rapor

Alice’s POV
28 Juni 2021

“Tak terasa ya adik-adik, perlombaan antar kelas untuk menggugah semangat kompetisi kalian dalam bidang non-akademik hari ini akan segera di tutup…” Seorang dengan tubuh tambun tampak berceloteh di depan lapangan. Bibirnya yang dipenuhi dengan rambut tidak henti-hentinya tersenyum melihat ke arah kami yang sedang berdiri dengan rasa yang tidak sabar untuk segera mengakhiri upacara penutupan lomba antar kelas ini.

Sebenarnya hanya aku sih yang tidak sabar dengan upacara ini, tetapi aku juga tahu beberapa dari teman-temanku juga tidak sabar dengan pidato panjang lebar dari kepala sekolah yang berdiri di depan ini saat melihat raut wajah mereka semua.

Namaku Alice. Aku adalah siswa kelas 7 yang bersekolah di salah satu sekolah swasta yang tidak begitu terkenal. Dulu mungkin aku tidak begitu betah dengan sekolah yang ada di sini. Muridnya sudah banyak tetapi fasilitasnya cuma sedikit. Beberapa guru juga kalo menjelaskan banyak tidak tahunya, meskipun ada juga beberapa yang menyenangkan sih. Selain itu, kayaknya guru di sini juga bawel semua sehingga aku ingin segera pindah hanya setelah satu bulan berada di sini.

Tetapi, ada satu hal yang mengubah pemikiranku waktu itu.

Sebuah kutipan dari suatu anime mengatakan bahwa hal yang bisa membuat wanita berubah adalah cinta.

Apakah itu benar? Ya… Mungkin saja aku memang sudah jatuh cinta padanya.

“Oke, baiklah, tidak perlu berlama-lama lagi. Kali ini kita akan saksikan bersama-sama babak final untuk menentukan juara satu dari pertandingan futsal. Kita sambut finalis kita tim 8B dan 9A” Akhirnya… Dia berhenti juga membicarakan hal yang membosankan.

Suara tepuk tangan dan berbagai macam sorakan riuh rendah menghiasi lapangan tersebut ketika dua banjar siswa dengan pakaian seragamnya masing-masing berjalan memasuki lapangan. Beberapa siulan tampak terdengar dari barisan laki-laki beserta dengan teriakan aneh mereka ketika melihat dua tim tersebut masuk ke dalam lapangan.

Pandanganku langsung tertuju pada salah seorang dengan pakaian hijau tua yang sedang berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Rambutnya rapi dan sedang, tidak cepak juga tidak terlalu gondrong. Aku tahu dia sangat jarang menyisir rambutnya, tetapi entah kenapa rambut tersebut tampak selalu menata dirinya serasi dengan kontur wajah anak tersebut.

Ekspresinya datar dan fokus, tidak memancing perhatian dan juga tidak menunduk malu. Santai, biasa, percaya diri, dan yakin bisa melakukan sesuatu.

Betul sekali dugaan kalian, dia mungkin adalah hal yang membuatku berubah. Namanya adalah Rei.

Memang aku akui kalau kontur wajahnya benar-benar memesona, atau bisa dibilang tipe cogan gitu, tetapi yang paling aku sukai dari dia bukanlah wajahnya yang memesona tersebut. Yang aku sukai adalah karakternya yang begitu kalem dan percaya diri serta tenang.

Setiap tingkah lakunya itu seperti air sungai yang dalam. Mungkin terlihat mengalir dengan tenang, damai, tetapi jika kalian mencoba untuk melawannya, kalian akan tahu bahwa ternyata alirannya tidak setenang yang kalian kira.

Jika kalian masih bingung dengan gambaran yang aku jelaskan, mungkin aku bisa menjelaskan bahwa dia itu adalah seorang pria yang melakukan apa yang harusnya dia lakukan. Saat dia ingin melakukan sesuatu, dia akan melakukannya meskipun dia menghadapi banyak sekali rintangan. Sebaliknya, jika dia tidak ingin melakukan sesuatu, maka dia juga tidak akan melakukannya meskipun banyak orang yang menyuruhnya.

Dia bukan tipe orang yang haus akan perhatian. Jika dia memang ingin melakukannya, dia akan melakukannya terlepas dari apakah perbuatannya dilihat atau diabaikan oleh orang lain. Bukan orang yang suka diperhatikan, dan juga bukan orang yang malu-malu kucing.

Ah… Kenapa aku jadi sangat bersemangat begini bila membicarakannya.

Kita kembali saja ke dunia nyata di mana sekarang dia… maksudku timnya sedang melakukan yel-yel untuk menambah semangat bertanding mereka. Beberapa saat kemudian, kedua tim tersebut tampak sudah berhadap-hadapan dengan formasi yang sudah mereka tentukan sendiri.

Dia adalah pemain belakang. Ya… meskipun sebenarnya aku juga tahu sih bahwa keterampilannya dalam sepak bola itu bisa dibilang tidak terlalu jago. Tetapi karena dia memang harus melakukannya demi kelasnya, dia akan terus maju meskipun nanti permainannya memalukan.

Uh… keren sekali kan dia?

-0-

“Dan… untuk lomba futsal pada perlombaan kelas tahun ini diraih oleh kelas 8B” Suara komentator tampak bergema dengan berbagai macam tepuk tangan dari seluruh peserta, tidak terkecuali aku.

Meskipun bukan dia yang memasukkan bolanya, setidaknya dia sudah berjuang untuk terus ikut dan mungkin sekarang usahanya ter bayarkan. Teman-temanku yang lain pun juga tak kalah serunya, bersorak untuk kemenangan kelas 8.

Ya… aku tahu sih mereka semua juga memiliki doi masing-masing di kelas tersebut. Dan mungkin saja beberapa dari mereka adalah sainganku juga, tetapi biarlah. Aku mungkin hanya bisa sebagai pengagum rahasia saja di kelasku.

Ngapain juga harus repot-repot melakukan ini dan itu?

Aku pun berdiri dari tempat dudukku dan kemudian mengajak seorang gadis pendek yang sedang duduk di sampingku.

“Pulang yuk… Sudah selesai kan acaranya?” Tanyaku sambil menepuk rokku untuk membersihkan sisa debu yang menempel. Gadis di sampingku ini adalah Mentari, sahabatku sejak SD. Mungkin dia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang tahu semua rahasiaku, bahkan sampai rahasia paling gelap dalam hidupku.

Tentu saja, Rei bukan merupakan rahasia paling gelapku. Menurutku wajar saja sih jika kita suka sama seorang cowok, apalagi pada usia SMP seperti ini. Jadi, terkadang aku menceritakan kekagumanku pada Rei kepada hampir seluruh teman mengobrolku.

Tapi tahu tidak apa rahasia paling gelapku?

Aku akan ceritakan jika kalian semua berjanji tidak akan menceritakannya kepada siapa pun. Janji?

Ini terjadi hanya tiga minggu yang lalu, Aku mengetahui hari ulang tahun Rei dari biodata yang aku intip dari buku induk sekolah. Jangan tanyakan bagaimana aku bisa mengintip buku induk sekolah. Dan juga jangan tanyakan juga kapan tanggal lahir Rei. Aku hanya bisa berkata bahwa hari ulang tahunnya bertepatan dengan ujian semester dua.

Entah apa yang merasuki diriku saat itu, aku memberikan sebuah surat yang isinya hanya harapan agar dia bisa sukses saat ujian beserta sebuah botol yang berisi vitamin. Saat itu, memang aku melihat kondisi wajah Rei yang begitu pucat seperti orang sakit sehingga aku memberikan vitamin itu di laci meja di kelasnya beserta suratku.

Mungkin detail rahasianya akan aku ceritakan di lain waktu karena sekarang aku harus pulang.

Aku pun berjalan menuju ke arah pintu keluar bersama dengan Mentari. Gadis itu masih saja bercerita tentang kakaknya yang sedang belajar di sekolah negeri dan menceritakan betapa enaknya untuk sekolah di sana. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk pindah sekolah karena…

Rei…

Secara otomatis, tubuhku berhenti mendadak begitu melihat cowok tersebut sedang duduk bersama dengan seorang guru pendek berambut cepak. Apa yang sedang mereka bicarakan? Bukankah itu…

Aku tidak begitu mengenal guru yang sedang berbicara dengan Rei, tetapi anak-anak biasa memanggilnya dengan sebutan profesor.

Mentari juga tampak terheran melihatku berhenti dengan tiba-tiba seperti angkutan umum yang suka menepi dengan tiba-tiba, tetapi dalam sekejap dia mengerti kenapa aku berhenti.

“Ngapain tuh Rei sama Profesor?” Katanya. Aku juga akan menanyakan hal yang sama, tetapi suaraku masih tertahan di tenggorokan karena melihat bagaimana mereka bisa akrab.

Aku tidak begitu mengenal Profesor karena dia tidak pernah mengajar di kelas kami. Aku hanya mengetahui bahwa dia adalah guru yang kadang bertingkah aneh, terlalu banyak diam dan ekspresi wajah yang tidak bisa ditebak. Kadang dia memasang wajah galak, kadang selalu tersenyum, tetapi yang paling sering adalah wajah datar.

Tetapi, sepertinya kali ini dia sedang memasang wajah senyumnya. Mungkin saja mood nya lagi bagus. Apa jangan-jangan Rei yang bikin mood nya bagus?

“Sudahlah. Kita jalan terus aja, gak usah menengok” Saran Mentari sambil menarik tanganku untuk melanjutkan perjalanan. Aku pun berjalan kembali sambil menundukkan kepalaku melewati dua orang yang sedang mengobrol tersebut. Dalam hati sebenarnya aku ingin sekali mendengarkan obrolan mereka, tetapi jalanan terlalu ramai sehingga suara mereka tertutup oleh bisingnya anak-anak yang ingin pulang sekolah.

Tampaknya aku tidak begitu pandai dalam menahan rasa penasaranku sehingga aku pun mengangkat pandanganku. Mungkin saja aku bisa menebak apa topik obrolan mereka dari cara mereka menggerakkan bibir…

DEG

Sebuah biji hitam menatap mataku yang ingin melihat bibir mereka. Kacamata nya yang tebal tampak membuat pandangan yang awalnya tajam tersebut menjadi sedikit biasa, tetapi aku yakin bahwa guru itu sedang menatap ke arahku. Dengan cepat aku pun mengalihkan pandanganku dari guru tersebut dan terus berjalan menuju ke gerbang keluar.

Pandangan macam apa itu… Bulu kudukku merinding begitu membayangkan pandangan tersebut kembali dalam pikiranku.

Jangan-jangan dia… Paedofil?

29 Juni 2021

“Liburan besok kamu mau ke mana?” Tanya Mentari membuka percakapan. Aku pun menoleh ke arah gadis pendek yang juga tean sebangkuku tersebut dan kemudian menarik sebelah alisku.

“Aku gak punya rencana apa-apa sih” Jawabku sambil meletakkan kepalaku di atas meja dan mulai mencoret-coret kertas yang berada di depanku.

Bosan tahu…

Perlombaan akhir tahun sudah selesai, dan hari ini adalah jadwalnya pembagian rapor, tetapi mana sih wali kelas, kok gak datang-datang?

Tahu gitu tidur dulu lagi.

“Selamat pagi anak-anak” Sebuah suara yang benar-benar asing memasuki telingaku dan membuatku langsung mengangkat kepalaku, melihat siapa sih yang datang kali ini.

“Mohon maaf, hari ini Bu Feni sedang sakit sehingga tidak bisa membagikan rapor seperti yang sudah direncanakan. Jadi, akan saya bagikan saja. Sebelum itu, saya akan sampaikan sedikit amanat…” Dan kemudian suaranya tertelan entah oleh apa. Mungkin kalian sudah menduganya bahwa yang masuk ke dalam kelasku sekarang adalah Profesor, guru yang waktu itu sedang berbincang-bincang dengan Rei.

Kali ini dia dalam mood biasanya yang datar, dengan suara yang tak kalah datar juga. Amanat yang biasanya disampaikan dengan menggebu-gebu oleh Bu Feni tampak hanya seperti orang yang membacakan undang-undang dasar.

“Dan untuk peringkat bisa kalian lihat sendiri sudah saya tuliskan di rapor kalian, aku tidak mau mempermalukan kalian dengan membeberkan peringkat kalian di muka umum” Katanya sambil kemudian membagi rapor dari meja ke meja.

Ha? Bagaimana dia bisa menghafal nama dan wajah kami satu persatu?

Dia pun berjalan dengan wajah datarnya untuk menyerahkan rapor bersampul hitam tersebut kepadaku. Matanya masih tampak sama seperti kemarin saat aku mengangkat pandanganku untuk melihat Rei, dan itu membuatku langsung menundukkan kepalaku karena takut dengan tatapannya.

Apaan sih?

Aku pun membuka raporku dan aku melihat sebuah angka yang ditulis dengan spidol berwarna hitam di depan raporku. Sebuah angka kembar seperti sirkuit balap motor dengan berbagai macam tikungan. Dahiku berkerut ketika melihat hanya itu yang berada di raporku? Angka 8?

“Rapor dan nilai kalian di balik kertas tersebut. Aku pikir itu yang mungkin cukup kalian ketahu” Soelah membaca pikiranku, profesor pun menjawab hal tersebut di depan kelas. Aku pun merogoh kan tanganku untuk menarik kertas bertuliskan angka delapan tersebut untuk melihat…

He… Mana nilaiku?

Di tulis dengan huruf yang rapi bak mesin ketik, sebuah surat tampak berada di dalam raporku. Kenapa raporku hanya berupa surat?

Halo yang di sana, selamat karena sudah bisa peringkat delapan ya…

Ini ada sedikit penghargaan buatmu yang sudah berusaha keras untuk belajar pada semester ini. Semoga saja semester depan kamu bisa jadi lebih baik.

Mataku kemudian terpaku pada kotak kecil yang berada di dasar rapor tersebut.

Aku pun menutupnya cepat-cepat agar tidak ketahuan oleh siapa pun. Kulihat ke depan kelas di mana profesor sedang berdiri dengan wajah datarnya sambil mengawasi kami. Kenapa dia tidak keluar-keluar?

“Baiklah, jika memang tidak ada yang ditanyakan, aku harus membagikan rapor yang lain juga” Katanya sambil memberi hormat untuk keluar dari kelas. Kali ini matanya sedang fokus ke depan sehingga aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Sebuah senyuman kecil tersungging dari bibirnya ketika dia berjalan meninggalkan kelasku.